MENGENAL SEJARAH BERDIRINYA PURA LUHUR PATILA
Asal
Usul Pura Luhur Patila yang berada di Desa Patila, Kec. Bone – Bone, Kab.
Luwu Utara Provinsi Suawesi Selatan, pada awalnya atas penyampaian seorang bernama Nenek
Bimbang. Nenek Bimbang adalah
penganut Agama Islam dan tekun melaksanakan ibadah Agamanya. Nenek Bimbang pada hari-hari tertentu
datang ke lereng gunung Patila. Ditempat ini Nenek Bimbang melakukan semadi. Ketika semadi nenek bimbang mendapat pawisik agar
tempat ini dijaga oleh orang dari Bali. Karena itu maka tanggal
9 April 1972 Nenek Bimbang mendatangi
orang Bali yang ada di Desa Sidomakmur, Kec. Bone – Bone, Kab. Luwu Utara. Nenek Bimbang ketemu
dengan Gusti Aji kamat. Nenek Bimbang
menyampaikan sesuatu yang pernah dialaminya.
Bahwa di gunung Patila ada sebuah batu yang berbentuk/ berwujud
manusia hamil. Menurut Nenek Bimbang agar
Batu
yang berbentuk manusia hamil
tersebut dijaga dan dihormati karena dari tempat ini kita dapat memperoleh
rezeki.
Oleh karena permintaan dan permohonan nenek bimbang
tersebut maka pada tanggal 10 April 1972 Gusti Aji
Kamat mengajak teman-temanya seperti : Pan Nari, Mangku Suja, Mangku Renteg,
Pan Luh Natih, dan 10
orang, berangkat menuju
Lereng gunung . Dalam
perjalanan ini rombongan dampingi oleh
Nenek Bimbang. Perjalanan
mereka sungguh berat, dimana mereka berjalan kaki terus mengikuti aliran sungai
ke hulu, dan liku-liku sungai itu jumlahnya 9 kali belokan dan akhirnya rombongan sampai pada tempat yang
dituju. Ketika melihat disekitar itu, mereka saling
bertanya siapa sebenarnya yang beristana ditempat yang suci ini dan bagaimana
riwayatnya.. Mereka
mengadakan musyawarah yang dipimpin oleh Nenek Bimbang, dan dalam keputusan
mereka bersama persembahyangan tidak bisa dilaksanakan sekarang oleh karena
kita sama sekali tidak membawa sarana/perlengkapan sesajen (banten).
Tepat
pada hari selasa Kliwon tanggal 15 April 1972 Purnama kedasa tokoh-tokoh itu
kembali kegunung Patila untuk mengadakan persembahyangan dengan membawa Banten selengkapnya. Rombongan berjumlah
30 orang. Pemimpin sembahyang
diserahkan kepada Pan Luh Natih dan dibantu oleh
Mangku Suja, Embah Renteg. Mereka mempersiapkan
tempat pemujaan berupa “
Turus Lumbung”
(Tempat Pemujaan Sementara). Sementara
dalam pelaksanaan Ngastawa tiba-tiba ada salah seorang, bernama Pan Westri
mengalami kelinggihan. Suara kata-kata yang diucapkannya adalah Yang disungsung
atau dipuja ditempat ini adalah BHATARA NINI GIRI PUTRI. Setelah kejadian itu baru diadakan persembahyangan
dilanjutkan dengan mohon tirta,
disamping itu pula Tirta/air suci itu dibawa pulang digunakan untuk memerciki persawahan
yang tujuannya memohon kemakmuran.
Berdasarkan hasil musyawarah
bersama tokoh-tokoh umat Hindu,
menghasilkan keputusan bahwa Pura tersebut diberi nama PURA
LUHUR PATILA dan yang disungsung adalah
Ida Bhatari Nini Giri Putri, yang Piodalannya setiap Purnama Kedasa. Untuk
pertama kalinya diadakan tahun 1973. Demikian sekilas sejarah berdirinya Pura Patila,
Tempat keadaan Pura saat ini, tidak seperti awalnya,
yang kelilingi oleh hutan, tetapi disekitar Pura telah berubah dengan adanya
tanaman Kelapa Sawit yang dimiliki penduduk muslim. Oleh kerana itu sangat
diimbau agar tempat itu memiliki sertifikat, agar tidak terjadi hal – hal yang
tidak diinginkan. Demikian permintaan Bimas Hindu (Simon Kendek Paranta’)
bersama rombongan ketika melakukan kunjungan kerja pada tanggal 03 April 2015
(I Ketut Mundra).-
No comments:
Post a Comment