PHAHALA
BERBHAKTI PADA ORANG TUA/LELUHUR
oleh : I Ketut Mundra
Pendahuluan
Sañkaro narakᾱyaiva,
Kula-ghnᾱnᾱṁ kulasya ca,
Patanti pitaro hy eṣᾱṁ,
Lupta -piņḍodaka - kriyᾱh.
Bhagavad Gita I, 42.
Kekacauan alamnya ini, sebenarnya adalah alam Neraka
bagi keluarga dan juga bagi mereka yang menghancurkannya. Karena jiwa leluhur
mereka tidak ada yang menghaturi sajen.
Sloka
diatas menunjukan bahwa dalam upacara yang penuh keyakinan (sraddha) adalah
berbhakti dan menyembah leluhur. Menyembah leluhur merupakan salah satu metode
untuk meningkatkan kwalitas bhakti pada Tuhan. Menyembah leluhur dengan tekun
akan menhgadirkan keluarga yang utuh dan bahagia. Hal ini dapat kita lihat pada
epos Ramayana dimana Dewa Rama dengan begitu tekun bhakti pada orang tuanya, dia
hidup ditengah hutan sampai 12 tahun. Tujuan ini semua adalah untuk
meningkatkan bhaktinya pada Tuhan.
Dalam
kitab Bhagavad Gita dijelaskan Sri Krisna
mengatakan pada Arjuna, “Aku” sampaikan ajaran yang begitu luhur ini padamu,
karena engkau adalah paling Kukasihi. Untuk menjadi manusia yang dikasihi oleh
Tuhan, maka jalan yang kita lakukan adalah memuja dan memuji Tuhan. Bentuk puja
dan puji kita adalah lewat ajaran bhakti. Dalam hal ini terlebih dahulu kita berbhakti
pada leluhur. Lalu siapa leluhur itu dan mengapa mesti kita , dan mengapa tidak Ida Sanghyang Widhi saja kita
sembah ?. Dan apa keistimewakan beliau dan apakah dengan berbhakti pada leluhur
mendapat pahala ?.
Pengertian
Pahala dan Leluhur.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pahala diartikan balasan dari Tuhan karena
perbuatan makhluk mematuhi perintah dan laranganNya; ganjaran dari Tuhan; buah
dari perbuatan baik (Umi Chulsum, S.Pd, Windy Novia, S.Pd : 2006,497). Dalam
kamus Bahasa Sansekerta karangan Drs. Made Surada, MA memberikan arti “Phala” sebagai hasil, hadiah, ganjaran, perbuatan,
sebuah tujuan, manfaat, keuntungan, keturunan, pemberian, papan. Dalam konteks
simantik kata phala berkaitan dengan ajaran karma phala. Karma Phala adalah
hokum abadi yang dapat memotivasi manusia untuk berkarma baik, maka setiap
perbuatan pasti ada balasan atau hasil dan hikmahnya. Dalam kaitan ini berbhakti
pada leluhur atau orang tua merupakan karma baik maka pasti ada balasannya.
Leluhur
adalah orang yang dtinggikan tempatnya. Artinya orang yang wajib untuk
dihormati. Dalam susastra Hindu Leluhur disebut orang tua. Disebut orang tua
karena beliau memiliki tanggung jawab sangat besar terhadap perkembangan
kehidupan keturunannya (anak dan cucu – cicitnya). Dalam kitab Sarasamuccaya
242 dinyatakan jasa orang tua yaitu “Sarirakŗt
(yang melahirkan), Praņadᾱtᾱ
(memberikan dengan iklas hidup atau membangun jiwa si anak), dan Annadᾱtᾱ (membarikan
anak makan dan mengasuhnya dengan baik). Ketiga jasa beliau ini dijuluki atau gelar
“Bapa”/ orang tua (Telu Pratekaning
Bapa). Prof Yuda Tri Guna
(mantan Dirjen Bimas Hindu) memberikan arti “Bapa” sebagai orang yang
bertanggung jawab terhadap kehdiupan perkembangan anak baik yang berkaitan
dengan moral, spiritual, kesejahteraan dan pendidikan anak. Sedangkan kata “Ibu” memiliki makna kesetiaan dan
memiliki sifat kasih sayang.
Tugas dan Kewajiban Orang Tua.
Dalam
konsep Catur Guru, orang tua juga adalah disebut guru yaitu Guru rupaka, guru
yang menjadi rujukan nilai – nilai moral bagi anak – anaknya. Karena itu orang
tua hendaknya memiliki karakter integritas, profesional, inovatif, tanggung
jawab dan keteladanan. Jika hal ini telah terpatri pada jiwa orang tua maka
akan akan mampu membesarkan anak – anaknya yang berkarakter mulia atau lahir
anak suputra. Ketulusan orang tua tiada taranya mendidik anak dengan tanpa
pemerih atau balasan. Pupuh (sekar alit) Ginanti disebutkan :
Saking tuhu
manah guru, Mituturin cening jani,
Kaweruhe lwir
sanjata, Ne dadi probotang sai
Kanggen ngaruruh
merta, Saenun ceninge urip
Artinya
:
Dengan sungguh –
sungguh perasaan guru, menasehati kamu sekarang, kepandaian bagaikan senjata
yang dapat dipergunakan setiap saat, dipakai mencari penghidupan, selama kamu
masih hidup.
Pupuh
diatas sangat jelas peran dan fungsi orang tua yakni mendidik anaknya dengan
ketulusan hati. Mendidik mengajarkan dasar – dasar pengetahuan dan dasar –
dasar nilai moral, sopan santun, tata krama, sehingga menjadi anak suputra. Anak
yang telah didik dengan pengetahuan para widya dan aparawidya, maka anak
memiliki wajah terang berseri penuh percaya diri, memiliki sifat bijaksana yang
disebabkan oleh pancaran ilmu pengetahuan dalam diri yang memiliki sifat kedewataan
(Daivi Sampat). Dengan ilmu, ia dapat menjaga kebersihan badan, menyucikan
pikiran, menjaga jiwa dan mensucikan kecerdasan (abhigatrani cuddhyanti, manah
satyena cuddhyanti, widyatapobhyam bhutatma, bhudir jnanena cuddhyanti).
Dengan ilmu hidup jadi terasa lebih berguna dan membawa suasana keharmonisan
dan keharuman. Nama baik, bisa menjaga diri dengan baik. Tembang Bali “ Bungan
Sandat” yang populerkan A.A. Made Cakra.
Yen gumanti bajang, tan binaya pucuk
nedeng kembang
Disubaye layu, tan ade ngarungwang
ngemasin mekutang
Becik melaksana, de gumanti dadi
kembang bintang
Mentik dirurunge, makejang mengempok
raris kaentungang
To I bungan sandat, selayu layu layune
miik
Toya nyandang tulad, sauripe melaksana
becik
Para truna truni, mangda saling asah
asih asuh
Menyama beraya, to kukuhin rahayu
kepanggih
Lagu
Bungan Sandat menyampaikan pesan moral agar selalu berpegang pada hidup yang selulung
sebayan taka, menyama braya/ hidup bermasyarakat, hidup rukun baik dikeluarga
maupun dimasyarakat.
Baik
buruknya karakter anak sangat tergantung pada pola asuh orang tua tua terhadap
anak. Dalam kakawin Niti Sastra IV. 20
disebutkan cara mendidik anak yaitu :
Tingkahing sutasasaneka
kadi raja, tanaya ri sedeng limang tahun
Sapta ng warsa
wara hulun sapuluhing tahun ika wuruken ring aksara
Yapwan
sodacawarsa tulya wara mitra tinaha – taha denta midana,
Yan wus putra
suputra tinghalana solahika wuruken ing nayenggita
Terjemahannya
:
Anak yang sedang
berumur lima tahun, hendaknya diperlakukan seperti anak raja, jika sudah
berumur tujuh tahun, dilatih supaya menurut, jika sudah sepuluh tahun, diajari
membaca, jika sudah enam belas tahun diperlakukan sebagai sahabat; kalau kita
mau menunjukan kesalahannya, harus dengan hati – hati sekali, jika ia sudah beranak,
diamat – amati saja tingkahnya; kalau hendak memberi pelajaran kepadanya, cukup
dengan gerak dan alamat.
Dorothy Law
Nolte,
dalam pusisinya dibawah ini patut untuk dijadikan bahan rujukan untuk membina
anak.
Jika
anak biasa hidup dicacat dan dicela, kelak ia akan terbiasa menyalahkan oleh
lain.
Jika
anak terbiasa hidup dalam permusuhan, kelak ia akan terbiasa menentang dan
melawan.
Jika
anak biasa hidup dicekam ketakutan, kelak ia akan terbiasa merasa resah dan
cemas.
Jika
anak biasa hidup dikasihani, kelak ia akan terbiasa meratapi nasibnya sendiri.
Jika
anak biasa hidup diolok – olok, kelak ia akan terbiasa menjadi pemalu
Jika
anak biasa hidup dikelilingi perasaan Iri, kelak ia akan terbiasa bersalah
Jika anak biasa hidup serba
dimengerti dan dipahami, kelak ia akan terbiasa enjadi Penyabar.
Jika anak biasa hidup diberi
semangat dan dorongan, kelak ia akan terbiasa percaya diri.
Jika anak biasa hidup banyak
dipuji, kelak ia akan terbiasa menghargai
Jika
anak biasa hidup tanpa banyak disalahkan, kelak ia akan terbiasa senang menjadi
diri sendiri
Jika
anak biasa hidup mendapat pengakuan dari kiri kanan, kelak ia akan terbiasa
menetapkan sasarn langkahnya.
Jika anak biasa
hidup jujur, kelak ia akan terbiasa memilih kebenaran.
Jika anak biasa
hdiup diperlakukan adil, kelak ia akan terbiasa dengan keadilan
Jika anak biasa
hidup mengenyam rasa aman, kelak ia akan terbiasa percaya diri dan mempercayai
orang – orang disekitar.
Jika anak biasa
hidup ditengah keramahtamahan, kelak ia akan terbiasa berpendirian “Sungguh
Indah Dunia ini”.
Pada Kakawin Niti sastra VIII. 3 dinyatakan lima jasa orang tua
(Panca Wida ) yaitu :
1.
Matulung urip rikaling baya;
menolong tat kala menghadapi bahaya,
2. Sang
maweh binojana; memberikan kita makan.
3. Sang
mengupadyaya; yang memberikan kita pendidikan dan Ilmu Pengetahuan agar
anak menjadi seoarng sadhu gunawan yang cerdas atau mampu berpikir kritis.
Dalam kitab Nitisastra
dijelaskan bahwa seorang yang tergolong sadhu bhudi dapat terjerumus dalam
neraka, akibat salah pilih karena tidak berpikir kritis.
Kitab Niti sastra disebutkan
sebagai berikut :
Ada orang kaya naamun
apa yang dimakan dan dipakainya serta kurang .Ada orang bertingkah laku bagus
namun kurang akal ( kurang berfikir kritis akan ikut orang jahat ).Ada orang
berumur panjang, namun rendah budinya dan tidak mengamalkan ajaran suci. Itulah
orang miskin tiga macam hidupnya tidak berharga.
Dalam kitab Tantri Kamandaka banyak diuraikan
mengenai contoh yang kurang berfikir kritis. Berikut ini dikutip terjemahan dua
buah cerita.
“Ada seorang Brahmana, tamat belajar Weda pada Bhagawan Wrhaspati.
Sudah sempurna ilmunya, hendak pulang kedaerahnya sendiri melalui gunung dan
hutan, ditemukannya bangkai seekor harimau karena digigit ular berbisa.
Terharunya Brahmana melihat harimau itu, besarlah rasa belas kasihannya.
Karena ingin
mencoba ilmunya maka bangkai harimau itu dimantrai dan dengan sekejap harimau
itu hidup kembali. Ketika melihat sang pendeta oleh harimau itu, maka kata
harimau “Inilah harus kumakan engkau Sang Brahmana, pemberian Dewa Rudra yang
benar – benar memuaskan diriku.Demikian kata harimau, maka diterkamlah Brahmana
itu oleh harimau. Matilah brahmana itu. Itulah tindakan yang tidak menggunakan
daya pikir kritis, sebelum membuat suatu tindakan yang penting.
Lain lagi ceritranya, ada seorang raja putra bercengkrama, bermain –
main ditaman Shidapati. Ada padanya seekor Kera jantan yang dipeliharanya, sangat
cerdas, tingkahnya seakan – akan menyerupai perbuatan orang, dan selalu kera itu mengikuti kemana saja raja putra itu
pergi, tiada pengikut lain untuk menjaga keselamatannya. Raja Putra bersenang hati melihat kehindahan taman
itu, rindang karena bunga – bunga berbau harum. Tak tahulah ia bahwa ajalnya
tiba, masih asyik saja menikmati keindahan taman, sambil memejamkan mata hendak
tidur, berdampingan dengan istrinya. Kera yang dipelihara itu Si Grubuh
namanya. Ia diberi pisang supaya ia menjaga. Kata Putra Raja “ Hai kau kera, jagalah
keselamatanku selama aku tidur. Barangkali ada yang mengganggu tidurku, apalagi
kalau penjahat yang merusak. Hendaklah Engkau lenyapkan apa saja yang
mengganggu tidurku. Jangan engkau undur ketebing. Inilah pedang bagi temanmu” Demikianlah sabda
putra raja, senang – senang mereka tidur. Tak lama ada seekor lalat hijau
hinggap dileher sang Putra raja. Hal itu dilihat oleh si Kera, dan ingat akan
pesan sang raja. Ditepuknya kuat – kuat lalat itu dengan pedang dan tepat pada
leher sang raja putra, maka putuslah leher sang raja dan permaisurinya, matilah
mereka karena pesannya sendiri. Itulah contoh akibat karena tidak menggunakan
daya fakir kritis.
Kedua cerita diatas
menunjukan pentingnya kita menggunakan daya pikir kritis sebelum melakukan
tindakan penting, karena hal ini selalu diingatkan oleh ajaran Tri Kaya
Parisudha; sebelum berbuat dan berpikir, semestinya diawali dengan berpikir
kritis dan suci.
4. 4. Sang menyangaskara; yang
menyucikan diri kita dengan upacara keagamaan dan
5. 5. Sang ametuwaken; orang yang
menyebabkan kita lahir.
Melihat
begitu mulia dan besarnya jasa orang tua, yang memiliki sifat – sifat
kedewataan sehingga orang tua kita disebut Dewa nyata didunia. Dalam Taittiriya Upanisad I.11 desebutkan ada
4 (empat) yang disebut Dewa yaitu Ibu, Ayah pandita dan Tamu( Matri deva bhava, pitri
deva bhava, Acaryo
deva bhava, atithi deva bhava artinya Ibu,
Ayah, Pandita dan tamu upacara adalah Dewa). Dewa artinya sinar suci Tuhan.
Ibu dan Ayah sebagai leluhur adalah sinar suci dalam keluarga.
Phahala Berbhakti pada Orang Tua
Phahala
berbhakti pada orang tua dijelaskan dalam kitab
Sarasamuccaya 250 memberikan jaminan bagi anak yang berbhakti pada leluhur
atau orang tua.Phahala mulia yang diperoleh bagi orang yang berbakti pada
leluhur yaitu :
1.
Kirti ngarania paleman ring ayu artinya selalu
dipuji dan dido’akan untuk mendapatkan kerahayuan. Doa memberikan dorongan jiwa
dan membesarkan semangat hidup. Doa orang tua sangat mengandung nilai spiritual
karena sarat akan keberhasilan dan orang tua tidak akan pernah membenci
anaknya. Makanya jika ada orang tua memarahi anaknya dan dinilai oleh anaknya
bahwa orang tua itu benci, itu adalah salah besar. Kemarahan orang tua, karena
kecintaan pada anaknya agar ia tidak terjerumus ke hal – hal negative. Doa
dapat menjaga dan melindungi kita dari mara bahaya yang negative. Dengan sering
berdoa hati akan menjadi tenang, hadirnya sifat kasih saying, hilangnya
perasaan ego. Doa yang sungguh – sungguh dan dipercayai akan mendatangkan dua
dimensi yaitu dimensi Psycologis dan dimensi magis religious (Wiana, 2001; 11).
Dimensi
psycologis dapat secara langsung memberikan dorongan moral pada yang
didoakan sedangkan dimensi magis relegius dapat menggerakan kesucian atman untuk
lebih mampu mengusai Bhudi, Manah, Ahamkara. Orang akan hidupnya baik jika ia
mampu mengusai indria dan pikirannya. Dalam berdoa dapat dilakukan secara
individu atau diri sendiri untuk kepentingan diri sendiri dan dapat juga
ditujukan pada orang lain untuk kebajikan. Atau orang lain yang medoakan kita,
seperti orang tua mendoakan anaknya atau sebaliknya. Sudah tentu anak yang baik
atau suputra. Jadi ada imbalan timbal balik antara bhakti dan waranugraha. Anak
berbhakti dan orang tua memberikan pahala atau Imbalan/balasan.
Agar doa dapat
membawa manfaat bagi kehidupan kita maka tata cara berdoa haruslah diperhatikan
seperti mengucapkannya dengan hati yang penuh keyakinan. Karena doa adalah
unsur sraddha yang mempunyai kegunaan sangat penting dan bermanfaat kehidupan
kita terutama dalam pembinaan moral dan mental spiritual. Untuk itu wajib
hukumnya untuk berdoa. Dalam Manawa
Dharmasastra II.101 :
Purvam samdhyam japam, stisthet savtrim
arka darsanat,
pascimam tu samasinah, samyag rksa vibhavanat
Terjemahannya :
Hendaknya ia berdiri diwaktu pagi,
mengucapkan mantra sampai matahari terbit, tetapi diwaktu sore boleh dengan
cara duduk sampai cakrawala tampak denga jelas.
Selanjutnya disebutkan pula dalam kitab
Atharva Veda XII.11, bahwa doa yang disebut dengan istilah Brahma merupakan
penyangga dunia (prtivim dharayanti). Dengan dasar ini maka umat beragama
diwajibkan untuk tidak meninggalkan atau untuk lupa berdoa. Wujud bhakti
melalui doa ini cara yang paling mudah untuk dilakukan asalkan dengan niat yang
suci dan penuh keyakinan. Doa orang tua pada anaknya adalah telah melekat pada
anaknya yaitu melalui upacara Niskramana Samkara atau upacara Nyambutin. Dalam
upacara ini dilakukan pemberian nama pada anak melaui proses yang sacral,
dengan upacara bebantenan yang dilakukan dengan ucapan mantra – mantra suci
veda yang dipimpin oleh seorang Pinandita atau oleh seorang Pandita/ Sulinggih.
Dengan adanya upacara ini maka telah melekat doa seorang ayah/ibu pada anaknya.
Nama setiap anak memiliki makna yang begitu luhur. Harafannya adalah agar
sianak menjadi baik dalam berperilaku dan dikasihi oleh sesame dan Ida
Sanghyang Widhi Wasa.
2.
Ayusa ngaraning urip artinya namanya
berumur panjang. Yang berumur panjang bukan berarti orang mati sampai lanjut
usia. Meskipun hidup berlama – lama didunia ini jika tidak berbuat kebajikan,
maka sama halnya orang miskin. Dalam canakya Niti sastra disebutkan tiga
orang miskin yaitu orang kaya tapi selalu merasa
kurang, orang pintar namun kurang akal dan orang hidup umurnya panjang
namun
tidak berbuat kebajikan. Demikian dijelaskan dalam Sarasamuccaya 179;
Ayusa itu artinya dalam umur kita berjalan, tidak banyak mendapat halangan
dalam hidup. Sarasamuccaya 367 disebutkan pula umur kita hidup didunia ini
sangat pendek. Hidup pendek ini sebagian diambil oleh waktu malam, waktu tidur,
waktu sakit, bersedih, keadaan tua renta dan gangguan lainya. Jadi Ayusa adalah
penggunaan waktu pada masa hidup secara efektif untuk berbuat baik didunia.
3.
Bala ngarania
kesaktian.
Bala artinya kesaktian. Dalam bahasa sanskerta “Sakti” berarti kekuatan,
kemampuan yang positif. Karena itu Prakerti dan Pradana dari Tuhan disebut
Sakti yang dilambangkan dengan Dewi. Mereka yang sungguh bhakti pada leluhurnya
dijanjikan mendapat phahala Bala sebagai kekuatan untuk melaksanakan gagasan –
gagasan yang baik dan benar, sehingga dapat berguna baik untuk dirinya sendiri
mapun pada masyarakat.
4.
Yasa ngaraning patitinggal rahayu artinya yasa
meninggalkan kerahayuan. Didunia ini dalam berbuat jasa kepada orang tua,
bangsa dan Negara sangat didambakan oleh setiap orang. Karenanya perbuatan baik
dapat menebus dosa leluhur dan keturunannya.
Selanjutnya
Manawa Dharma Sastra III.275 dinyatakan apapun yang dikerjakan oleh seseorang
dengan penuh keyakinan hendaknya terlebih dahulu ia berbhakti pada leluhurnya.
Jika hal ini dapat dilakukan ia akan memperoleh kepuasan dan kebahagiaan. Oleh
karena itu disamping yang telah diuraikan dalam kitab Sarasamuccaya, Manawa
Dharma Sastra juga menjamin kebahagiaan bagi mereka yang berbhakti pada
leluhurnya.
Memuja
leluhur ada dua tahap yang banyak dijelaskan dalam Manawa Dharma Sastra, yaitu Semasa
Hidup dan setelah beilau meninggal. Keduanya sama penting. Hal ini perlu
dipahami karena masih ada anak yang baru bertanggung jawab pada leluhurnya ketika
ia telah meninggal, dan semasa hidup orang tuanya, ia tidak peduli sehingga
orang tuanya yang telah tua renta tanpa ada bhakti dari anaknya. Anak yang
demikian adalah anak yang alpaca guru. Untuk itu Semasa orang tua masih hidup,
maka anak dan cucunya wajib menaruh hormat, menjaganya dan bhakti dengan tulus
iklas. Manawa Dharma Sastra II. 233 disebutkan dengan berbhakti pada Ibunya
(Matrbhaktya) maka ia mencapai kebahagiaan di bumi ini. Dengan berbhakti pada
Ayahnya (Pitrbhktya) ia akan mencapai kebahagiaan di alam madya. Dan berbhakti
pada guru ia mencapai Brahma loka. Maka pada dasarnya phahala yang diperoleh
berbhakti pada Ayah, Ibu dan guru adalah pekerjaannya menjadi teratur dan
sukses, tapa bratanya berhasil, dapat mengurangi dosa - dosa dan keturunannya
nanti menjadi baik.
Dari
semua uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa terjadi hubungan timbal balik,
anak berbhakti pada leluhurnya akan memperoleh kebahagiaan dan leluhurnya akan
memberikan kasih sayang pada keturunannya. Jika hubungan anak dengan lelehurnya
baik, maka kedamaian, keharmonisan dan kebahagian akan hadir ditengah – tengah
kita didunia yang kita cintai.
No comments:
Post a Comment