Wednesday, July 11, 2018


PHAHALA BERBHAKTI PADA ORANG TUA/LELUHUR
oleh : I Ketut Mundra

Pendahuluan
Sañkaro narakᾱyaiva,
Kula-ghnᾱnᾱṁ kulasya ca,
Patanti pitaro hy eṣᾱṁ,
Lupta -piņḍodaka - kriyᾱh.
Bhagavad Gita I, 42.
Kekacauan alamnya ini, sebenarnya adalah alam Neraka bagi keluarga dan juga bagi mereka yang menghancurkannya. Karena jiwa leluhur mereka tidak ada yang menghaturi sajen.

Sloka diatas menunjukan bahwa dalam upacara yang penuh keyakinan (sraddha) adalah berbhakti dan menyembah leluhur. Menyembah leluhur merupakan salah satu metode untuk meningkatkan kwalitas bhakti pada Tuhan. Menyembah leluhur dengan tekun akan menhgadirkan keluarga yang utuh dan bahagia. Hal ini dapat kita lihat pada epos Ramayana dimana Dewa Rama dengan begitu tekun bhakti pada orang tuanya, dia hidup ditengah hutan sampai 12 tahun. Tujuan ini semua adalah untuk meningkatkan bhaktinya pada Tuhan.

 Dalam kitab Bhagavad Gita dijelaskan Sri Krisna mengatakan pada Arjuna, “Aku” sampaikan ajaran yang begitu luhur ini padamu, karena engkau adalah paling Kukasihi. Untuk menjadi manusia yang dikasihi oleh Tuhan, maka jalan yang kita lakukan adalah memuja dan memuji Tuhan. Bentuk puja dan puji kita adalah lewat ajaran bhakti.  Dalam hal ini terlebih dahulu kita berbhakti pada leluhur. Lalu siapa leluhur itu dan mengapa mesti kita , dan  mengapa tidak Ida Sanghyang Widhi saja kita sembah ?. Dan apa keistimewakan beliau dan apakah dengan berbhakti pada leluhur mendapat pahala ?.

Pengertian Pahala dan Leluhur.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pahala diartikan balasan dari Tuhan karena perbuatan makhluk mematuhi perintah dan laranganNya; ganjaran dari Tuhan; buah dari perbuatan baik (Umi Chulsum, S.Pd, Windy Novia, S.Pd : 2006,497). Dalam kamus Bahasa Sansekerta karangan Drs. Made Surada, MA memberikan arti “Phala”  sebagai hasil, hadiah, ganjaran, perbuatan, sebuah tujuan, manfaat, keuntungan, keturunan, pemberian, papan. Dalam konteks simantik kata phala berkaitan dengan ajaran karma phala. Karma Phala adalah hokum abadi yang dapat memotivasi manusia untuk berkarma baik, maka setiap perbuatan pasti ada balasan atau hasil dan hikmahnya. Dalam kaitan ini berbhakti pada leluhur atau orang tua merupakan karma baik maka pasti ada balasannya.

Leluhur adalah orang yang dtinggikan tempatnya. Artinya orang yang wajib untuk dihormati. Dalam susastra Hindu Leluhur disebut orang tua. Disebut orang tua karena beliau memiliki tanggung jawab sangat besar terhadap perkembangan kehidupan keturunannya (anak dan cucu – cicitnya). Dalam kitab Sarasamuccaya 242 dinyatakan jasa orang tua yaitu “Sarirakŗt (yang melahirkan), Praņadᾱtᾱ (memberikan dengan iklas hidup atau membangun jiwa si anak), dan Annadᾱtᾱ (membarikan anak makan dan mengasuhnya dengan baik). Ketiga jasa beliau ini dijuluki atau gelar “Bapa”/ orang tua (Telu Pratekaning Bapa). Prof Yuda Tri Guna (mantan Dirjen Bimas Hindu) memberikan arti “Bapa” sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap kehdiupan perkembangan anak baik yang berkaitan dengan moral, spiritual, kesejahteraan dan pendidikan anak. Sedangkan kata “Ibu” memiliki makna kesetiaan dan memiliki sifat kasih sayang.

Tugas dan Kewajiban Orang Tua.
Dalam konsep Catur Guru, orang tua juga adalah disebut guru yaitu Guru rupaka, guru yang menjadi rujukan nilai – nilai moral bagi anak – anaknya. Karena itu orang tua hendaknya memiliki karakter integritas, profesional, inovatif, tanggung jawab dan keteladanan. Jika hal ini telah terpatri pada jiwa orang tua maka akan akan mampu membesarkan anak – anaknya yang berkarakter mulia atau lahir anak suputra. Ketulusan orang tua tiada taranya mendidik anak dengan tanpa pemerih atau balasan. Pupuh (sekar alit) Ginanti disebutkan :
Saking tuhu manah guru, Mituturin cening jani,
Kaweruhe lwir sanjata, Ne dadi probotang sai
Kanggen ngaruruh merta, Saenun ceninge urip
Artinya :
Dengan sungguh – sungguh perasaan guru, menasehati kamu sekarang, kepandaian bagaikan senjata yang dapat dipergunakan setiap saat, dipakai mencari penghidupan, selama kamu masih hidup.

Pupuh diatas sangat jelas peran dan fungsi orang tua yakni mendidik anaknya dengan ketulusan hati. Mendidik mengajarkan dasar – dasar pengetahuan dan dasar – dasar nilai moral, sopan santun, tata krama, sehingga menjadi anak suputra. Anak yang telah didik dengan pengetahuan para widya dan aparawidya, maka anak memiliki wajah terang berseri penuh percaya diri, memiliki sifat bijaksana yang disebabkan oleh pancaran ilmu pengetahuan dalam diri yang memiliki sifat kedewataan (Daivi Sampat). Dengan ilmu, ia dapat menjaga kebersihan badan, menyucikan pikiran, menjaga jiwa dan mensucikan kecerdasan (abhigatrani cuddhyanti, manah satyena cuddhyanti, widyatapobhyam bhutatma, bhudir jnanena cuddhyanti). Dengan ilmu hidup jadi terasa lebih berguna dan membawa suasana keharmonisan dan keharuman. Nama baik, bisa menjaga diri dengan baik. Tembang Bali “ Bungan Sandat yang populerkan  A.A. Made Cakra.

Yen gumanti bajang, tan binaya pucuk nedeng kembang
Disubaye layu, tan ade ngarungwang ngemasin mekutang

Becik melaksana, de gumanti dadi kembang bintang
Mentik dirurunge, makejang mengempok raris kaentungang

To I bungan sandat, selayu layu layune miik
Toya nyandang tulad, sauripe melaksana becik
Para truna truni, mangda saling asah asih asuh
Menyama beraya, to kukuhin rahayu kepanggih

Lagu Bungan Sandat menyampaikan pesan moral agar selalu berpegang pada hidup yang selulung sebayan taka, menyama braya/ hidup bermasyarakat, hidup rukun baik dikeluarga maupun dimasyarakat.

Baik buruknya karakter anak sangat tergantung pada pola asuh orang tua tua terhadap anak. Dalam kakawin Niti Sastra IV. 20 disebutkan cara mendidik anak yaitu :
Tingkahing sutasasaneka kadi raja, tanaya ri sedeng limang tahun
Sapta ng warsa wara hulun sapuluhing tahun ika wuruken ring aksara
Yapwan sodacawarsa tulya wara mitra tinaha – taha denta midana,
Yan wus putra suputra tinghalana solahika wuruken ing nayenggita
Terjemahannya :
Anak yang sedang berumur lima tahun, hendaknya diperlakukan seperti anak raja, jika sudah berumur tujuh tahun, dilatih supaya menurut, jika sudah sepuluh tahun, diajari membaca, jika sudah enam belas tahun diperlakukan sebagai sahabat; kalau kita mau menunjukan kesalahannya, harus dengan hati – hati sekali, jika ia sudah beranak, diamat – amati saja tingkahnya; kalau hendak memberi pelajaran kepadanya, cukup dengan gerak dan alamat.

Dorothy Law Nolte, dalam pusisinya dibawah ini patut untuk dijadikan bahan rujukan untuk membina anak.
Jika anak biasa hidup dicacat dan dicela, kelak ia akan terbiasa menyalahkan oleh lain.
Jika anak terbiasa hidup dalam permusuhan, kelak ia akan terbiasa menentang dan melawan.
Jika anak biasa hidup dicekam ketakutan, kelak ia akan terbiasa merasa resah dan cemas.
Jika anak biasa hidup dikasihani, kelak ia akan terbiasa meratapi nasibnya sendiri.
Jika anak biasa hidup diolok – olok, kelak ia akan terbiasa menjadi pemalu
Jika anak biasa hidup dikelilingi perasaan Iri, kelak ia akan terbiasa bersalah
Jika anak biasa hidup serba dimengerti dan dipahami, kelak ia akan terbiasa enjadi Penyabar.
Jika anak biasa hidup diberi semangat dan dorongan, kelak ia akan terbiasa percaya diri.
Jika anak biasa hidup banyak dipuji, kelak ia akan terbiasa menghargai
Jika anak biasa hidup tanpa banyak disalahkan, kelak ia akan terbiasa senang menjadi diri sendiri
Jika anak biasa hidup mendapat pengakuan dari kiri kanan, kelak ia akan terbiasa menetapkan sasarn langkahnya.
Jika anak biasa hidup jujur, kelak ia akan terbiasa memilih kebenaran.
Jika anak biasa hdiup diperlakukan adil, kelak ia akan terbiasa dengan keadilan
Jika anak biasa hidup mengenyam rasa aman, kelak ia akan terbiasa percaya diri dan mempercayai orang – orang disekitar.
Jika anak biasa hidup ditengah keramahtamahan, kelak ia akan terbiasa berpendirian “Sungguh Indah Dunia ini”.
  
Pada Kakawin Niti sastra VIII. 3 dinyatakan lima jasa orang tua (Panca Wida ) yaitu :   
1.      Matulung urip rikaling baya; menolong tat kala menghadapi bahaya,
2.      Sang maweh binojana; memberikan kita makan.
3.      Sang mengupadyaya; yang memberikan kita pendidikan dan Ilmu Pengetahuan agar anak menjadi seoarng sadhu gunawan yang cerdas atau mampu berpikir kritis.
Dalam kitab Nitisastra dijelaskan bahwa seorang yang tergolong sadhu bhudi dapat terjerumus dalam neraka, akibat salah pilih karena tidak berpikir kritis.  
Kitab Niti sastra disebutkan sebagai berikut :
Ada orang kaya naamun apa yang dimakan dan dipakainya serta kurang .Ada orang bertingkah laku bagus namun kurang akal ( kurang berfikir kritis akan ikut orang jahat ).Ada orang berumur panjang, namun rendah budinya dan tidak mengamalkan ajaran suci. Itulah orang miskin tiga macam hidupnya tidak berharga.

Dalam kitab Tantri Kamandaka banyak diuraikan mengenai contoh yang kurang berfikir kritis. Berikut ini dikutip terjemahan dua buah cerita.
“Ada seorang Brahmana, tamat belajar Weda pada Bhagawan Wrhaspati. Sudah sempurna ilmunya, hendak pulang kedaerahnya sendiri melalui gunung dan hutan, ditemukannya bangkai seekor harimau karena digigit ular berbisa. Terharunya Brahmana melihat harimau itu, besarlah rasa belas kasihannya.
Karena ingin mencoba ilmunya maka bangkai harimau itu dimantrai dan dengan sekejap harimau itu hidup kembali. Ketika melihat sang pendeta oleh harimau itu, maka kata harimau “Inilah harus kumakan engkau Sang Brahmana, pemberian Dewa Rudra yang benar – benar memuaskan diriku.Demikian kata harimau, maka diterkamlah Brahmana itu oleh harimau. Matilah brahmana itu. Itulah tindakan yang tidak menggunakan daya pikir kritis, sebelum membuat suatu tindakan yang penting.
Lain lagi ceritranya, ada seorang raja putra bercengkrama, bermain – main ditaman Shidapati. Ada padanya seekor Kera jantan yang dipeliharanya, sangat cerdas, tingkahnya seakan – akan menyerupai  perbuatan orang, dan selalu kera itu mengikuti kemana saja raja putra itu pergi, tiada pengikut lain untuk menjaga keselamatannya. Raja Putra bersenang hati melihat kehindahan taman itu, rindang karena bunga – bunga berbau harum. Tak tahulah ia bahwa ajalnya tiba, masih asyik saja menikmati keindahan taman, sambil memejamkan mata hendak tidur, berdampingan dengan istrinya. Kera yang dipelihara itu Si Grubuh namanya. Ia diberi pisang supaya ia menjaga. Kata Putra Raja “ Hai kau kera, jagalah keselamatanku selama aku tidur. Barangkali ada yang mengganggu tidurku, apalagi kalau penjahat yang merusak. Hendaklah Engkau lenyapkan apa saja yang mengganggu tidurku. Jangan engkau undur ketebing. Inilah pedang bagi temanmu” Demikianlah sabda putra raja, senang – senang mereka tidur. Tak lama ada seekor lalat hijau hinggap dileher sang Putra raja. Hal itu dilihat oleh si Kera, dan ingat akan pesan sang raja. Ditepuknya kuat – kuat lalat itu dengan pedang dan tepat pada leher sang raja putra, maka putuslah leher sang raja dan permaisurinya, matilah mereka karena pesannya sendiri. Itulah contoh akibat karena tidak menggunakan daya fakir kritis.
Kedua cerita diatas menunjukan pentingnya kita menggunakan daya pikir kritis sebelum melakukan tindakan penting, karena hal ini selalu diingatkan oleh ajaran Tri Kaya Parisudha; sebelum berbuat dan berpikir, semestinya diawali dengan berpikir kritis dan suci.
4.     4.  Sang menyangaskara; yang menyucikan diri kita dengan upacara keagamaan dan
5.      5. Sang ametuwaken; orang yang menyebabkan kita lahir.   

Melihat begitu mulia dan besarnya jasa orang tua, yang memiliki sifat – sifat kedewataan sehingga orang tua kita disebut Dewa nyata didunia. Dalam Taittiriya Upanisad I.11 desebutkan ada 4 (empat) yang disebut Dewa yaitu Ibu, Ayah pandita dan Tamu( Matri deva bhava, pitri deva bhava, Acaryo deva bhava, atithi deva bhava artinya Ibu, Ayah, Pandita dan tamu upacara adalah Dewa). Dewa artinya sinar suci Tuhan. Ibu dan Ayah sebagai leluhur adalah sinar suci dalam keluarga.



Phahala Berbhakti pada Orang Tua

Phahala berbhakti pada orang tua dijelaskan dalam kitab Sarasamuccaya 250 memberikan jaminan bagi anak yang berbhakti pada leluhur atau orang tua.Phahala mulia yang diperoleh bagi orang yang berbakti pada leluhur yaitu :
1.      Kirti ngarania paleman ring ayu artinya selalu dipuji dan dido’akan untuk mendapatkan kerahayuan. Doa memberikan dorongan jiwa dan membesarkan semangat hidup. Doa orang tua sangat mengandung nilai spiritual karena sarat akan keberhasilan dan orang tua tidak akan pernah membenci anaknya. Makanya jika ada orang tua memarahi anaknya dan dinilai oleh anaknya bahwa orang tua itu benci, itu adalah salah besar. Kemarahan orang tua, karena kecintaan pada anaknya agar ia tidak terjerumus ke hal – hal negative. Doa dapat menjaga dan melindungi kita dari mara bahaya yang negative. Dengan sering berdoa hati akan menjadi tenang, hadirnya sifat kasih saying, hilangnya perasaan ego. Doa yang sungguh – sungguh dan dipercayai akan mendatangkan dua dimensi yaitu dimensi Psycologis dan dimensi magis religious (Wiana, 2001; 11). Dimensi psycologis dapat secara langsung memberikan dorongan moral pada yang didoakan sedangkan dimensi magis relegius dapat menggerakan kesucian atman untuk lebih mampu mengusai Bhudi, Manah, Ahamkara. Orang akan hidupnya baik jika ia mampu mengusai indria dan pikirannya. Dalam berdoa dapat dilakukan secara individu atau diri sendiri untuk kepentingan diri sendiri dan dapat juga ditujukan pada orang lain untuk kebajikan. Atau orang lain yang medoakan kita, seperti orang tua mendoakan anaknya atau sebaliknya. Sudah tentu anak yang baik atau suputra. Jadi ada imbalan timbal balik antara bhakti dan waranugraha. Anak berbhakti dan orang tua memberikan pahala atau Imbalan/balasan.

Agar doa dapat membawa manfaat bagi kehidupan kita maka tata cara berdoa haruslah diperhatikan seperti mengucapkannya dengan hati yang penuh keyakinan. Karena doa adalah unsur sraddha yang mempunyai kegunaan sangat penting dan bermanfaat kehidupan kita terutama dalam pembinaan moral dan mental spiritual. Untuk itu wajib hukumnya untuk berdoa. Dalam Manawa Dharmasastra II.101 :
Purvam samdhyam japam, stisthet savtrim arka darsanat,
 pascimam tu samasinah, samyag rksa vibhavanat
Terjemahannya :
Hendaknya ia berdiri diwaktu pagi, mengucapkan mantra sampai matahari terbit, tetapi diwaktu sore boleh dengan cara duduk sampai cakrawala tampak denga jelas.
Selanjutnya disebutkan pula dalam kitab Atharva Veda XII.11, bahwa doa yang disebut dengan istilah Brahma merupakan penyangga dunia (prtivim dharayanti). Dengan dasar ini maka umat beragama diwajibkan untuk tidak meninggalkan atau untuk lupa berdoa. Wujud bhakti melalui doa ini cara yang paling mudah untuk dilakukan asalkan dengan niat yang suci dan penuh keyakinan. Doa orang tua pada anaknya adalah telah melekat pada anaknya yaitu melalui upacara Niskramana Samkara atau upacara Nyambutin. Dalam upacara ini dilakukan pemberian nama pada anak melaui proses yang sacral, dengan upacara bebantenan yang dilakukan dengan ucapan mantra – mantra suci veda yang dipimpin oleh seorang Pinandita atau oleh seorang Pandita/ Sulinggih. Dengan adanya upacara ini maka telah melekat doa seorang ayah/ibu pada anaknya. Nama setiap anak memiliki makna yang begitu luhur. Harafannya adalah agar sianak menjadi baik dalam berperilaku dan dikasihi oleh sesame dan Ida Sanghyang Widhi Wasa.

2.      Ayusa ngaraning urip artinya namanya berumur panjang. Yang berumur panjang bukan berarti orang mati sampai lanjut usia. Meskipun hidup berlama – lama didunia ini jika tidak berbuat kebajikan, maka sama halnya orang miskin. Dalam canakya Niti sastra disebutkan tiga orang miskin yaitu orang kaya tapi selalu merasa kurang, orang pintar namun kurang akal dan orang hidup umurnya panjang namun tidak berbuat kebajikan. Demikian dijelaskan dalam Sarasamuccaya 179; Ayusa itu artinya dalam umur kita berjalan, tidak banyak mendapat halangan dalam hidup. Sarasamuccaya 367 disebutkan pula umur kita hidup didunia ini sangat pendek. Hidup pendek ini sebagian diambil oleh waktu malam, waktu tidur, waktu sakit, bersedih, keadaan tua renta dan gangguan lainya. Jadi Ayusa adalah penggunaan waktu pada masa hidup secara efektif untuk berbuat baik didunia.

3.      Bala ngarania kesaktian. Bala artinya kesaktian. Dalam bahasa sanskerta “Sakti” berarti kekuatan, kemampuan yang positif. Karena itu Prakerti dan Pradana dari Tuhan disebut Sakti yang dilambangkan dengan Dewi. Mereka yang sungguh bhakti pada leluhurnya dijanjikan mendapat phahala Bala sebagai kekuatan untuk melaksanakan gagasan – gagasan yang baik dan benar, sehingga dapat berguna baik untuk dirinya sendiri mapun pada masyarakat.

4.      Yasa ngaraning patitinggal rahayu artinya yasa meninggalkan kerahayuan. Didunia ini dalam berbuat jasa kepada orang tua, bangsa dan Negara sangat didambakan oleh setiap orang. Karenanya perbuatan baik dapat menebus dosa leluhur dan keturunannya.

Selanjutnya Manawa Dharma Sastra III.275 dinyatakan apapun yang dikerjakan oleh seseorang dengan penuh keyakinan hendaknya terlebih dahulu ia berbhakti pada leluhurnya. Jika hal ini dapat dilakukan ia akan memperoleh kepuasan dan kebahagiaan. Oleh karena itu disamping yang telah diuraikan dalam kitab Sarasamuccaya, Manawa Dharma Sastra juga menjamin kebahagiaan bagi mereka yang berbhakti pada leluhurnya.

Memuja leluhur ada dua tahap yang banyak dijelaskan dalam Manawa Dharma Sastra, yaitu Semasa Hidup dan setelah beilau meninggal. Keduanya sama penting. Hal ini perlu dipahami karena masih ada anak yang baru bertanggung jawab pada leluhurnya ketika ia telah meninggal, dan semasa hidup orang tuanya, ia tidak peduli sehingga orang tuanya yang telah tua renta tanpa ada bhakti dari anaknya. Anak yang demikian adalah anak yang alpaca guru. Untuk itu Semasa orang tua masih hidup, maka anak dan cucunya wajib menaruh hormat, menjaganya dan bhakti dengan tulus iklas. Manawa Dharma Sastra II. 233 disebutkan dengan berbhakti pada Ibunya (Matrbhaktya) maka ia mencapai kebahagiaan di bumi ini. Dengan berbhakti pada Ayahnya (Pitrbhktya) ia akan mencapai kebahagiaan di alam madya. Dan berbhakti pada guru ia mencapai Brahma loka. Maka pada dasarnya phahala yang diperoleh berbhakti pada Ayah, Ibu dan guru adalah pekerjaannya menjadi teratur dan sukses, tapa bratanya berhasil, dapat mengurangi dosa - dosa dan keturunannya nanti menjadi baik.

Dari semua uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa terjadi hubungan timbal balik, anak berbhakti pada leluhurnya akan memperoleh kebahagiaan dan leluhurnya akan memberikan kasih sayang pada keturunannya. Jika hubungan anak dengan lelehurnya baik, maka kedamaian, keharmonisan dan kebahagian akan hadir ditengah – tengah kita didunia yang kita cintai.






































No comments:

Post a Comment

MENGENAL SEJARAH BERDIRINYA PURA LUHUR PATILA Asal Usul Pura Luhur Patila yang berada di Desa Patila, Kec. Bone – Bone, Kab. Luwu Uta...