Monday, July 23, 2018


MENGENAL SEJARAH BERDIRINYA PURA LUHUR PATILA

Asal Usul Pura Luhur Patila yang berada di Desa Patila, Kec. Bone – Bone, Kab. Luwu Utara Provinsi Suawesi Selatan, pada awalnya atas penyampaian seorang bernama Nenek Bimbang. Nenek Bimbang adalah penganut Agama Islam dan tekun melaksanakan ibadah Agamanya. Nenek Bimbang pada hari-hari tertentu datang ke lereng gunung Patila. Ditempat ini Nenek Bimbang melakukan semadi. Ketika semadi nenek bimbang mendapat pawisik agar tempat ini dijaga oleh orang dari Bali. Karena itu maka tanggal 9 April 1972 Nenek Bimbang mendatangi orang Bali yang ada di Desa Sidomakmur, Kec. Bone – Bone, Kab. Luwu Utara. Nenek Bimbang ketemu dengan Gusti Aji kamat. Nenek Bimbang menyampaikan sesuatu yang pernah dialaminya. Bahwa di gunung Patila ada sebuah batu yang berbentuk/ berwujud manusia hamil. Menurut Nenek Bimbang agar Batu yang berbentuk manusia hamil tersebut dijaga dan dihormati karena dari tempat ini kita dapat memperoleh rezeki.

Oleh karena permintaan dan permohonan nenek bimbang tersebut maka pada tanggal 10 April 1972 Gusti Aji Kamat mengajak teman-temanya seperti : Pan Nari, Mangku Suja, Mangku Renteg, Pan Luh Natih, dan 10 orang,  berangkat menuju Lereng gunung . Dalam perjalanan ini rombongan dampingi oleh Nenek Bimbang. Perjalanan mereka sungguh berat, dimana mereka berjalan kaki terus mengikuti aliran sungai ke hulu, dan liku-liku sungai itu jumlahnya 9 kali belokan dan akhirnya rombongan sampai pada tempat yang dituju. Ketika melihat disekitar itu, mereka saling bertanya siapa sebenarnya yang beristana ditempat yang suci ini dan bagaimana riwayatnya.. Mereka mengadakan musyawarah yang dipimpin oleh Nenek Bimbang, dan dalam keputusan mereka bersama persembahyangan tidak bisa dilaksanakan sekarang oleh karena kita sama sekali tidak membawa sarana/perlengkapan sesajen (banten).
            Tepat pada hari selasa Kliwon tanggal 15 April 1972 Purnama kedasa tokoh-tokoh itu kembali kegunung Patila untuk mengadakan persembahyangan dengan membawa Banten selengkapnya. Rombongan berjumlah 30 orang. Pemimpin sembahyang diserahkan kepada Pan Luh Natih dan dibantu oleh Mangku Suja, Embah Renteg. Mereka mempersiapkan tempat pemujaan berupa “ Turus Lumbung (Tempat Pemujaan Sementara). Sementara dalam pelaksanaan Ngastawa tiba-tiba ada salah seorang, bernama Pan Westri mengalami kelinggihan. Suara kata-kata yang diucapkannya adalah Yang disungsung atau dipuja ditempat ini adalah BHATARA NINI GIRI PUTRI. Setelah kejadian itu baru diadakan persembahyangan dilanjutkan dengan mohon tirta, disamping itu pula Tirta/air suci itu dibawa pulang digunakan untuk memerciki persawahan yang tujuannya memohon kemakmuran.
Berdasarkan hasil musyawarah bersama tokoh-tokoh umat Hindu, menghasilkan keputusan bahwa Pura tersebut diberi nama PURA LUHUR PATILA dan yang disungsung adalah Ida Bhatari Nini Giri Putri, yang Piodalannya setiap Purnama Kedasa. Untuk pertama kalinya diadakan tahun 1973. Demikian sekilas sejarah berdirinya Pura Patila, 

Selanjutnya tanggal 1 April 1999 Upacara Piodalan dipimpin oleh Ida Pedanda Gede Buruan dari Geria Batu Agung Propinsi Bali. Peletakan batu pertama dilaksanakan oleh Ida Pedanda seperti : Padma Sari, Gedong, Taksu, Pengelurah dan dasar piyasan, semuanya itu atas dasar Swadaya murni Masyarakat Penyungsung dari berbagai daerah khususnya dari Kab. Luwu Utara dan Kab. Luwu Timur.
Tempat keadaan Pura saat ini, tidak seperti awalnya, yang kelilingi oleh hutan, tetapi disekitar Pura telah berubah dengan adanya tanaman Kelapa Sawit yang dimiliki penduduk muslim. Oleh kerana itu sangat diimbau agar tempat itu memiliki sertifikat, agar tidak terjadi hal – hal yang tidak diinginkan. Demikian permintaan Bimas Hindu (Simon Kendek Paranta’) bersama rombongan ketika melakukan kunjungan kerja pada tanggal 03 April 2015 (I Ketut Mundra).-


Wednesday, July 18, 2018

NILAI - NILAI AJARAN VEDA 
SEBAGAI PENOPANG KEHARMONISAN KELUARGA
Oleh : I Ketut Mundra

Satyam maataa pita jnaanaan, 
dharmo Bhrata daya sakha, 
santih patni ksama putrah, 
sadete mama bhandavah.
                                                                                                          Niti Sastra XII. 11
Kebenaran adalah Ibuku, Ilmu Pengetahuan suci adalah ayahku, kewajiban suci adalah saudaraku, belas kasihan adalah temanku, kedamaian adalah sitriku, memaafkan adalah putra - putraku

Apakah yang sangat berarti dalam hidup ini ?. Pertanyaan ini mendapat jawaban sangat variatif dan berbagai versi sesuai dengan kama atau keinginan mereka. Ada yang mengatakan kasih sayang, cinta, kekayaan, artha, jabatan dan lain sebagainya. Tetapi menurut orang Amerika sebagai mana dikemukakan oleh Prof Kasim Matar (Dosen UIN Alaludin Makassar) adalah keluarga. Kenapa tradisi minum teh di Jepang masih hidup ?. Dengan tetap mentradisikan minum teh bersama, masyarakat Jepang merawat semangat keluarga. Kemudian kenapa Negara tidak mengurus agama ?. MUI Turki menjawab; buat apa Negara mengurus agama, jika agama tidak diurus oleh keluarga. 

Kenakalan remaja dan kejahatan sosial dan asusila atau adharma lainnya sangat mungkin berawal dari kegagalan keluarga. Sekolah dan masyarakat hanya menerima murid, siswa dan warga yang sebetulnya sudah lebih dahulu memdapat pendidikan dari keluarga. Anak yang berasal dari keluarga yang tidak baik, akan menyulitkan sekolah dimana ia menjadi murid. Kebiasaan dalam keluarga akan terbawa di sekolah. Bila dirumah anak dibiasakan bicara sopan, maka kebiasaan itu akan ia lakukan disekolah, demikian pula sebaliknya jika anak dibiasakan berbicara kotor, kasar dan sering mengumpat apalagi dimanja maka kebiasaan itu pula akan dilakukan disekolah dan ditengah - tengah masyarakat. 

Kenakalan remaja, tawuran siswa, geng motor, pemakaian narkoba, begal, pencurian dan kejahatan lainnya sangat mungkin asal dan bibit kejahatan tersebut berasal dari keluarga remaja tersebut. Sekolah dan masyarakat hanya ikut menanggung akibatnya. Karena itu jangan menyalahkan sekolah,masyarakat dan negara. Orang tua amerika yang terkenal berbudaya berbudaya bebas, justru mencari putra - putrinya jika terlambat pulang sesuai dengan janji, hal ini yang dibangun adalah komitmen untuk membentuk keluarga untuk menepati jnji yang telah dibuat. Orang Jepang negeri Industri modern, tetap membiasakan minum teh bersama segenap anggota keluarga. Orang Turki selalu mengingatkan warganya bahwa keluargalah yang utama dan bertanggung jawab terhadap agama. 

Jika kita cermati di negara kita bagaimana dengan orang tua, apakah peduli dengan apa yang ditonton putra - putrinya di HP, Android,Laptop dan lain - lainnya ?. Mungkin tidak !. Jika demikian itu berarti orang tua lebih bebas. Orang tua baru terkejut jika menerima berita bahwa anaknya kebut- kebutan, menjadi teroris, mencuri, tawuran dan berbagai permaslahan di luar sana. Ditengah deru keramaian hidup hendaknya jangan lupa keluarga. Karena dalam keluarga keheningan hidup dan damai bisa dijumpai. Kemacetan lalu lintas setiap saat bagi teman yang berada di daerah perkotaan, jangan menghalangi kita pulang ketengah keluarga. Kita bisa singgah di Cape untuk minum kopi, minum teh atau makan, tetapi akan lebih nikmat jika dinikmati bersama keluarga. Makanan modern diluar sana boleh menggoda kita tetapi pastikan jangan lupa sambal lalapan, lawar, ayan betutu atau makanan apapun yang disajikan oleh keluarga dirumah. Dengan keluarga semua jadi nikmat. Pastikan juga bahwa keluarga kita TIDAK punya andil terhadap kejahatan yang terjadi di masyarakat. 

Oleh sebab itu untuk memastikan bahwa keluarga menjadi andil dalam kebaikan, kerukunan dalam masyarakat, nilai - nilai ajaran Hindu harus ditananmkan sejak anak usia dini bahkan semasih dalam kandungan. Berkiblat pada kakawin Ramayana I. 3 bahwa keluarga yang harmonis adalah keluarga dimana kebijaksanaan, memahami dan mengamalkan ajaran Veda, tekun memuja Tuhan dan leluhur serta memiliki sifat kasih sayang terhadap anggota keluarga dan masyarakat. 

Tujuan Veda diturunkan kedunia oleh Tuhan dan diterima oleh para Rsi adalah untuk dipelajari dan diamalkan. Veda dipelajari untuk sebuah tujuan yang mulia yaitu untuk memperbaiki perilaku dan tradisi sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Sarasamuccaya 177 ........phalaning sang Hyang Veda inaji......., kinawruhaning Sila muang acara. Pada pustaka Wrespati Tattva 33 disebutkan bahwa suksesnya kehidupan seserang sangat dipengaruhi oleh ketekunan mempelajari Veda (Vedadyayana), mengamalkan ajaran Veda (Tarka Jnyana) dan aktif dalam aktifitas sosial masyarakat (Daana). Dengan ketekunan dalam mempelajari ajaran Veda yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari - hari, tentu akan melahirkan jiwa - jiwa seseoarang yang memiliki kecintaan dan kepedulian.Kecintaan terhadap agama (agama abhimana), kecintaan terhadap tanah air (Desa Abhimana) dan kecintaan terhadap Tuhan (dewa abhimana). Dengan cinta yang teah terpatri pada jiwa seseorang akan melahirkan rasa peduli terhadap pendidikan (Widya wahini), sosial (Paraja wahini) dan kepedulian terhadap kesehatan (Swastya wahini). 

Dari berbagai uraian diatas dapat kiranya distarik suatu kesimpulan tentang nilai - nilai ajaran Veda yang dapat dijadikan pegangan untuk membangun keluarga harmonis sehingga keluarga tersebut bahagia yaitu sesuai dengan Niti Sastra XII.11 yaitu :
  1. Satya yaitu kejujuran yang merupaknsifat hakekat kemanusiaan yang merupakan bagian dari Tuhan yang di bawa oleh  roh  dan roh itu bersumber dari Tuhan. Tanpa sifat kesetiaan keluarga akan kehilangan kepercayaan. Kejujuran merupakan salah satu jalan menuju Tuhan, karena kejujuran wajib dilakukan, tanpa itu keluarga akan hancur dan kejujuran salah satu penyebab yang membuat dunia harmoni, selain hukum alam, penyucian diri, pengendalian diri, doa dan korban suci, sebagaimana disebutkan dalam kitab Atharvaveda XII.1.1 "Satyam brhad rtam ugra dikso tapo brahma yajna prtivim dharayanti". Untuk membangun kejujuran dalam keluarga mulailah dengan hal - hal sederhana yaitu selalu berkata baik dan jujur, sikap terbuka, selalu melihat dan mendengar yang baik serta selalu makan - makanan yan memiliki sifat sifat satvika. 
  2. Ilmu Pengetahuan Suci. Dengan ilmu orang akan mampu berbuat banyak dalam memanajemen keluarga. Keluarga dimana anggota keluarga memiliki pengetahuan akan jauh lebih baik dan sangat terbuka serta luwes dalam pergaulan serta mampu membedakan yang baik dan buruk, boleh dan tidak bolah dan seterusnya, artinya dengan ilmu seseorang akan memiliki Wiweka. Dengan Ilmu keluarga akan memahami tugas dan fungsinya sebagai anggota keluarga dan dengan ilmu manusia mampu melepaskan diri dari penderitaan dan dengan ilmu pula seseorang dapat menuju kehidupan lebih baik atau dapat menuju swarga. Dan yang perlu diperhatikan setiap anggota keluarga adalah jangan jadikan ilmu menjadikan diri menjadi sombong, angkuh yang pada akhirnya mengecilkan hidup bermasyarakat, bahwa melupakan diri untuk menghormati leluhur dan tidak berbhakti pada Tuhan.
  3. Kewajiban Suci yang dimaksudkan dalam keluarga adalah kewajiban seoarang ayah, istri dan anak - anaknya. Kewajiban ini dilakukan semata - mata untuk peningkatan kualitas keluarga, baik yang berkaitan dengan pelaksanaan agama, interaksi sosial dan pemenuhan kenutuhan keluarga. Kewajiban suci seorang Swami sebagaimana terdapat dalam kitab suci Sarasamuccaya 242 adalah melindungi dan bertanggung atas kesehatan (sarira krti), pembangunan jiwa anak (prana data) dan menjamin kebutuhan akan makanan (anna data). Secara umum kewajiban suci orang tua (bapak/Ibu ) menurut Niti sastra VIII.3 adalima yang disebut Panca Vida yaitu Sang amentwaken (yang menyebabkan kita lahir), Sang Nitya Naweh Bhinojana (memberi makan dan minum), Sang Manggu Padyaya (Pendidikan bagi anak – anaknya), Sang Anyangaskara (pengendalian diri dan penyucian diri) dan Sang Matulung Urip. Kewajiban putra adalah menjaga orang tua baik masih hidup maupun setelah kematian. Kewajiban keluarga yang tidak kalah pentinnya adalah memenuhi kebutuhan keluarga berupa Ahara, Vihara dan Ausada. Ahara artinya membangun hidup yang berkualitas hendaknya diawali dengan  mendapatkan makanan dan mengelola makanan  dengan baik dan benar. Makanan yang diperoleh dari hasil kejahatan (dari mencuri, menipu, dan korupsi) dapat menutup hati nurani. Bila hati nurani kita tertutup maka kita akan mudah berbuat yang asubha karma. Seseorang yang terturup hati nuraninya tidak akan dapat melihat dengan baik sinar kebenaran. Dalam kitab Chandogya Upanisad : Ahara suddhau sattva suddhih, sattva suddhau dhruva smrtih smrti lambe sarvagranthinam vipra mokshah (makanan tingkat satvam menyucikan sifat – sifat satvam, dengan tersucikan sifat satvam, ingatan jadi tajam, dan dengan ingatan tajam (ingatan rohani) maka segala kotoran akan menjadi sirna). Selanjutnya kitab Bhagavad Gita XVII.8 disebutkan : Ayuhsattvabalarogya, Sukhapritiwiwardnahan, Rasyah snigdhah sthira hridya stasAharah sattvikapriyah (Makanan yang meberi hidup, kekuatan, kesehatan, kebahagiaan dan kesenangan yang terasa least, lembut, menyegarkan dan enak adalah sangat disukai oleh satvika (orang baik). Makanan yang diperoleh dengan jalan dharma dan makanan tersebut yang least, lembut dan segar jika dikomsumsi maka dapat menjadikan kita Ayuh (dapat memperpanjang umur), Satvika ( mensucikan atma), Bala(memberikan kekuatan fisik), Arogya ( menjaga kesehatan). Sukha (memberi rasa bahagia), dan Viva dhayah (meningkatkan status kehidupan). Agar makan yang kita makan datang menghadirkan kehidupan yang sehat, kuat, panjang umur dan jauh dari penyakit dan tidak memakan dosa sendiri, hendaknya diawali dengan berdoa.  Tetua – tetua kita dari dulu hingga sekarang setelah memasak selalu membuat banten saiban atau banten jotan. Tujuannya untuk menghapus dosa. Hal ini sangat jelas disebutkan dalam kitab Bhagavadgita III. 13 : Yajnasistasinah santo, mucyante sarvakilbisaih, bhunjate te tv agham papa, ye pacanty atmakaranat (Orang – orang yang baik yang makan apa yeng tersisa dari yajna, mereka itu terlepas dari segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingannya sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri. Ausada yaitu upaya untuk memelihara kesehatan jasmani dan rohani, kesehatan fisik maupun mental. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengamalkan kesusilaan (subha karma) antara lain  Panca Yama Brata, Catur Paramita (empat kebajikan luhur), Tri Kaya Pari Sudha(tiga perbuatan yang suci/bersih), Tatvam Asi dan mengamalkan ajaran Vasudeva Kutumbhakam dalam kehidupan sehari – hari. Kitab Manawa Dharmasastra IX.36 disebutkan : Yadruam tupyate bijam, ksetre kalopapadite, Tad rg rohati tat tasmin,  bijam svair byanjitam gunaih (Apapun macam benih yang disemaikan, disiapkan pada waktu – waktu tertentu, tumbuh dari jenis itu, ditandai oleh sifat – sifatnya yang khas dari benih itu, tumbuh dari padanya). Dalam upaya menciptakan suasana keluarga bahagia dan sejahtera, maka kesehatan tidak bisa diabaikan. Sebab kesehatan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan terciptanya kondisi keluarga bahagia dan sejahtera. Adalah sangat mustahil bagi suatu keluarga untuk dapat menikmati kondisi bahagia dan sejahtera jika berada dalam keadaan tidak sehat jasmani. Demikian halnya kesehatan mental dan kesehatan sosial sangatlah menentukan juga. Ada disebutkan “Dharmathakamamoksanan sariram sadhanan” artinya badan adalah alat untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Vihara yakni membina sikap hidup yang dapat mendatangkan kebahagiaan lahir dan batin. Veda memberi petunjuk kepada umatnya untuk mempelajari 2 (dua) Ilmu Pengetahuan yaitu yang bersifat spritual dan yang material (Dve Vidye viditavye para caivapara ca). Ilmu pengetahuan spiritual untuk melaksanakan dharma dan mencapai moksha, sedangkan ilmu pengetahuan material untuk memperoleh artha dan menikmati kama. Ini berarti tugas umat Hindu adalah melaksanakan dharma, mengumpulkan artha kekayaan, menikmati kama dan mecapai Moksha. Untuk mendapatkan itu semua wajib berlandaskan dharma. Tujuan hidup (Catur Purushartha) manusia jika dilaksanakan secara benar dan saling bersinergi maka ada peluang tercapainya tujuan hidup berupa kebahagian jasmani dan rohani seperti apa yang menjadi visi ajaran Hindu yaitu Mokshartham Jagadhita. 
  4. Kasih Sayang atau Cinta kasih yang tulus adalah modal utama dalam penciptaan dunia. Tuhan dalam menciptakan dunia ini adalah karena cinta kasih. Karena itu cinta kasih sesungguhnya identik dengan Tuhan itu sendiri. Dimana ada cinta kasih yang tulus disana ada ketenangan, dimana ada ketengan pasti ada kedamaian, dimana ada kedamaian pasti ada kesejahteraan, dimana ada kesejahteraan disana ada kebahagiaan (ananda), dimana ada kebahagiaan disana pasti ada Tuhan. Didalam jiwa setiap orang sesungguhnya telah ada benih cinta kasih universal.Benih cinta kasih itu berasal dari Tuhan selaku Paramatma. Apa yang menjadi hakekat roh yang utama dimiliki juga oleh roh roh yang kecil (atma). Maka Tugas kita adalah memelihara dan merawat benih cinta kasih dengan mengamalkan kejujuran, kebajikan dan tiada menyakiti mahluk lain, maka hidup kita akan tenang dan damai. Bila Cinta kasih kita tujukan pada Tuhan, maka ia akan menjadi Bhakti. Bhakti bukanlah sekedar sikap tetapi merupakan rangkaian perbuatan yang dilakukan dengan penuh cinta kasih, hormat dan kagum atas keagungan-Nya. Cinta kasih yang ditujukan kepada manusia dan makhluk lain maka ia akan menjadi Kebajikan. Kebajikan diwujudkan tidak menyakiti mahkluk lain akan melahirkan kedamaian hidup dibumi. Jadi sesungguhnya cinta kasihlah yang melandasi kejujuran, kebajikan, tanpa kekerasan dan kedamaian. Rg Veda IX.86.30 dinyatakan ”Tvam usijah prathama agrbhnata, Tubhyena visva bhuvanani yebhin (Semoga terdapat cinta kasih didalam keluarga, semoga semuanya hidup dengan cinta kasih dibumi ini, semoga terdapat kesabaran, ketenangan dan kepercayaan diri). 
  5. Kedamaian. Yang menentukan ada tidaknya perasaan damai dalam hati sesungguhnya adalah sikap pikiran. Ketertarikan akan kekayaan merupakan rintangan terbesar untuk mewujudkan pikiran yang shanty. Karena kedamaian itu berada dalam hati tidak dapat ditemukan di luar diri, karena itu ia harus dicari di dalam diri sendiri. Dalam kitab Atharva Veda XIX.9.1 disebutkan Santa dyauh santa prthivi santam idam urvantariksam, Santa udanvatir apah santa nah santu – osadhih (Semoga langit penuh damai, semoga bumi bebas dari gangguan – gangguan, semoga lapisan udara yang meliputi bumi yang luas menjadi tenang, semoga perairan yang mengalir menyejukan dan semoga semua tanaman dan tumbuhan menjadi bermanfaat untuk kami). 
  6. Ksama artinya suka memberi maaf atau tidak suka melakukan kekerasan. Dalam keluarga dimana sering terjadi pertengkaran, percekcokan, mau menang sendiri maka apapun yang dikerjakan dalam keluarga tidak akan berphahala. Dan bagi yang merasa bersalah atau berbuat keliru cepat - cepatlah perbaiki diri dan upayakan jangan sampai terulang kesalahan yang kedua kalinya. Kesabaran penting pula diperhatikan. Tindakan tidak menyakiti semua mahkluk sangat ditekankan dalam agama Hindu. Dalam mantram Manu Smerti IV.238 :“Dharmam sanaik sangenus yadvalmikamiva pusthah, Pralokasaha  yartham sarvabhutanyapedhayah (Jangan menyakiti mahluk apapun juga, biarlah ia perlahan – lahan memupuk sinar dharma itu, bagaikan anai anai mendirikan sarangnya). Dokrin Tri Kaya Parisudha harus dibiasakan dalam hidup sehari – hari untuk mewujudkan persahabatan (Maitri), ikut merasakan penderitaan orang lain (Karuna), ikut merasakan kebahagiaan orang lain berhasil (Mudita), maka jadikan diri selalu dalam keseimbangan (Upeksa). Itulah mutiara kebajikan yang mesti disemai dalam hidup keluarga ini. Itulah cara memperbaiki diri untuk mencapai kehidupan yang Idial. Kitab Sasasamuccaya 4 telah memberikan semangat untuk memualai misi untuk memperbaiki diri “Menjelma menjadi manusia adalah sungguh – sungguh utama, sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik, itulah keuntungan lahir sebagai manusia”. Tapi kita harus ingat belajarlah dari seekor Angsa walau ia mencari makan didalam Lumpur ia tidak pernah memakan kotoran dan selalu memilah – milah/viveka. Begitu juga manusia walaupun hidup didunia yang penuh dengan Rwa Bineda, ia harus memiliki viveka yakni membedakan mana yang baik, pantas, bagus dan mana yang buruk. Untuk memperaktekkan nilai kebenaran dengan brata, Tidak ingkar pada hokum karma. Untuk mewujudkan kebajikan ia harus berjanji untuk menghormati dan menghargai orang lain. Untuk mempraktekkan nilai kasih sayang ia harus menyayangi dirinya sendiri dan orang-orang terdekat, dan ia mendoakan agar orang lain dan dirinya sendiri. Doa : “loka samastasukhino bhawantu” tidak pernah diharapkan. Untuk mewujudkan nilai kedamaian maka berjanjilah untuk tidak membenci mahluk lain, tidak menganggu ketenangan orang lain dan lakukan kegiatan dengan kasih hindari jangan sampai menyakiti mahluk lain.  
Demikian nilai - nilai ajaran veda dapat dijadikan pijakan dalam membangun keutuhan keluarga. Keluarga adalah pintu untuk meletakan pendidikan budi pekerti pada putra - putri kita. Baik buruk masa depan keluarga sangat tergantung dari peran suci orang tua. Dasar ajaran Veda ini hendaknya selalu diupayakan terutama yang berkaitan dengan pendidikan anak - anak kita. Anak baik, surga bagi orang tua demikian pula orang tua baik dan bijaksana adalah surga bagi anak - anak kita dalam keluarga. Sifat seseorang yang menikmati surga di dunia ini adalah apabila ia memiliki sifat kasih sayang, ahimsa, jujur, tanggung jawab, hati yang damai dan suka memaafkan. Upaya pemenuhan kebutuhan berupa Ahara, Vihara dan Ausada hendaknya dimulai dari jiwa - jiwa yang murni, suci dan ikhlas. 
Semoga bermanfaat 


   

Wednesday, July 11, 2018


PHAHALA BERBHAKTI PADA ORANG TUA/LELUHUR
oleh : I Ketut Mundra

Pendahuluan
Sañkaro narakᾱyaiva,
Kula-ghnᾱnᾱṁ kulasya ca,
Patanti pitaro hy eṣᾱṁ,
Lupta -piņḍodaka - kriyᾱh.
Bhagavad Gita I, 42.
Kekacauan alamnya ini, sebenarnya adalah alam Neraka bagi keluarga dan juga bagi mereka yang menghancurkannya. Karena jiwa leluhur mereka tidak ada yang menghaturi sajen.

Sloka diatas menunjukan bahwa dalam upacara yang penuh keyakinan (sraddha) adalah berbhakti dan menyembah leluhur. Menyembah leluhur merupakan salah satu metode untuk meningkatkan kwalitas bhakti pada Tuhan. Menyembah leluhur dengan tekun akan menhgadirkan keluarga yang utuh dan bahagia. Hal ini dapat kita lihat pada epos Ramayana dimana Dewa Rama dengan begitu tekun bhakti pada orang tuanya, dia hidup ditengah hutan sampai 12 tahun. Tujuan ini semua adalah untuk meningkatkan bhaktinya pada Tuhan.

 Dalam kitab Bhagavad Gita dijelaskan Sri Krisna mengatakan pada Arjuna, “Aku” sampaikan ajaran yang begitu luhur ini padamu, karena engkau adalah paling Kukasihi. Untuk menjadi manusia yang dikasihi oleh Tuhan, maka jalan yang kita lakukan adalah memuja dan memuji Tuhan. Bentuk puja dan puji kita adalah lewat ajaran bhakti.  Dalam hal ini terlebih dahulu kita berbhakti pada leluhur. Lalu siapa leluhur itu dan mengapa mesti kita , dan  mengapa tidak Ida Sanghyang Widhi saja kita sembah ?. Dan apa keistimewakan beliau dan apakah dengan berbhakti pada leluhur mendapat pahala ?.

Pengertian Pahala dan Leluhur.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pahala diartikan balasan dari Tuhan karena perbuatan makhluk mematuhi perintah dan laranganNya; ganjaran dari Tuhan; buah dari perbuatan baik (Umi Chulsum, S.Pd, Windy Novia, S.Pd : 2006,497). Dalam kamus Bahasa Sansekerta karangan Drs. Made Surada, MA memberikan arti “Phala”  sebagai hasil, hadiah, ganjaran, perbuatan, sebuah tujuan, manfaat, keuntungan, keturunan, pemberian, papan. Dalam konteks simantik kata phala berkaitan dengan ajaran karma phala. Karma Phala adalah hokum abadi yang dapat memotivasi manusia untuk berkarma baik, maka setiap perbuatan pasti ada balasan atau hasil dan hikmahnya. Dalam kaitan ini berbhakti pada leluhur atau orang tua merupakan karma baik maka pasti ada balasannya.

Leluhur adalah orang yang dtinggikan tempatnya. Artinya orang yang wajib untuk dihormati. Dalam susastra Hindu Leluhur disebut orang tua. Disebut orang tua karena beliau memiliki tanggung jawab sangat besar terhadap perkembangan kehidupan keturunannya (anak dan cucu – cicitnya). Dalam kitab Sarasamuccaya 242 dinyatakan jasa orang tua yaitu “Sarirakŗt (yang melahirkan), Praņadᾱtᾱ (memberikan dengan iklas hidup atau membangun jiwa si anak), dan Annadᾱtᾱ (membarikan anak makan dan mengasuhnya dengan baik). Ketiga jasa beliau ini dijuluki atau gelar “Bapa”/ orang tua (Telu Pratekaning Bapa). Prof Yuda Tri Guna (mantan Dirjen Bimas Hindu) memberikan arti “Bapa” sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap kehdiupan perkembangan anak baik yang berkaitan dengan moral, spiritual, kesejahteraan dan pendidikan anak. Sedangkan kata “Ibu” memiliki makna kesetiaan dan memiliki sifat kasih sayang.

Tugas dan Kewajiban Orang Tua.
Dalam konsep Catur Guru, orang tua juga adalah disebut guru yaitu Guru rupaka, guru yang menjadi rujukan nilai – nilai moral bagi anak – anaknya. Karena itu orang tua hendaknya memiliki karakter integritas, profesional, inovatif, tanggung jawab dan keteladanan. Jika hal ini telah terpatri pada jiwa orang tua maka akan akan mampu membesarkan anak – anaknya yang berkarakter mulia atau lahir anak suputra. Ketulusan orang tua tiada taranya mendidik anak dengan tanpa pemerih atau balasan. Pupuh (sekar alit) Ginanti disebutkan :
Saking tuhu manah guru, Mituturin cening jani,
Kaweruhe lwir sanjata, Ne dadi probotang sai
Kanggen ngaruruh merta, Saenun ceninge urip
Artinya :
Dengan sungguh – sungguh perasaan guru, menasehati kamu sekarang, kepandaian bagaikan senjata yang dapat dipergunakan setiap saat, dipakai mencari penghidupan, selama kamu masih hidup.

Pupuh diatas sangat jelas peran dan fungsi orang tua yakni mendidik anaknya dengan ketulusan hati. Mendidik mengajarkan dasar – dasar pengetahuan dan dasar – dasar nilai moral, sopan santun, tata krama, sehingga menjadi anak suputra. Anak yang telah didik dengan pengetahuan para widya dan aparawidya, maka anak memiliki wajah terang berseri penuh percaya diri, memiliki sifat bijaksana yang disebabkan oleh pancaran ilmu pengetahuan dalam diri yang memiliki sifat kedewataan (Daivi Sampat). Dengan ilmu, ia dapat menjaga kebersihan badan, menyucikan pikiran, menjaga jiwa dan mensucikan kecerdasan (abhigatrani cuddhyanti, manah satyena cuddhyanti, widyatapobhyam bhutatma, bhudir jnanena cuddhyanti). Dengan ilmu hidup jadi terasa lebih berguna dan membawa suasana keharmonisan dan keharuman. Nama baik, bisa menjaga diri dengan baik. Tembang Bali “ Bungan Sandat yang populerkan  A.A. Made Cakra.

Yen gumanti bajang, tan binaya pucuk nedeng kembang
Disubaye layu, tan ade ngarungwang ngemasin mekutang

Becik melaksana, de gumanti dadi kembang bintang
Mentik dirurunge, makejang mengempok raris kaentungang

To I bungan sandat, selayu layu layune miik
Toya nyandang tulad, sauripe melaksana becik
Para truna truni, mangda saling asah asih asuh
Menyama beraya, to kukuhin rahayu kepanggih

Lagu Bungan Sandat menyampaikan pesan moral agar selalu berpegang pada hidup yang selulung sebayan taka, menyama braya/ hidup bermasyarakat, hidup rukun baik dikeluarga maupun dimasyarakat.

Baik buruknya karakter anak sangat tergantung pada pola asuh orang tua tua terhadap anak. Dalam kakawin Niti Sastra IV. 20 disebutkan cara mendidik anak yaitu :
Tingkahing sutasasaneka kadi raja, tanaya ri sedeng limang tahun
Sapta ng warsa wara hulun sapuluhing tahun ika wuruken ring aksara
Yapwan sodacawarsa tulya wara mitra tinaha – taha denta midana,
Yan wus putra suputra tinghalana solahika wuruken ing nayenggita
Terjemahannya :
Anak yang sedang berumur lima tahun, hendaknya diperlakukan seperti anak raja, jika sudah berumur tujuh tahun, dilatih supaya menurut, jika sudah sepuluh tahun, diajari membaca, jika sudah enam belas tahun diperlakukan sebagai sahabat; kalau kita mau menunjukan kesalahannya, harus dengan hati – hati sekali, jika ia sudah beranak, diamat – amati saja tingkahnya; kalau hendak memberi pelajaran kepadanya, cukup dengan gerak dan alamat.

Dorothy Law Nolte, dalam pusisinya dibawah ini patut untuk dijadikan bahan rujukan untuk membina anak.
Jika anak biasa hidup dicacat dan dicela, kelak ia akan terbiasa menyalahkan oleh lain.
Jika anak terbiasa hidup dalam permusuhan, kelak ia akan terbiasa menentang dan melawan.
Jika anak biasa hidup dicekam ketakutan, kelak ia akan terbiasa merasa resah dan cemas.
Jika anak biasa hidup dikasihani, kelak ia akan terbiasa meratapi nasibnya sendiri.
Jika anak biasa hidup diolok – olok, kelak ia akan terbiasa menjadi pemalu
Jika anak biasa hidup dikelilingi perasaan Iri, kelak ia akan terbiasa bersalah
Jika anak biasa hidup serba dimengerti dan dipahami, kelak ia akan terbiasa enjadi Penyabar.
Jika anak biasa hidup diberi semangat dan dorongan, kelak ia akan terbiasa percaya diri.
Jika anak biasa hidup banyak dipuji, kelak ia akan terbiasa menghargai
Jika anak biasa hidup tanpa banyak disalahkan, kelak ia akan terbiasa senang menjadi diri sendiri
Jika anak biasa hidup mendapat pengakuan dari kiri kanan, kelak ia akan terbiasa menetapkan sasarn langkahnya.
Jika anak biasa hidup jujur, kelak ia akan terbiasa memilih kebenaran.
Jika anak biasa hdiup diperlakukan adil, kelak ia akan terbiasa dengan keadilan
Jika anak biasa hidup mengenyam rasa aman, kelak ia akan terbiasa percaya diri dan mempercayai orang – orang disekitar.
Jika anak biasa hidup ditengah keramahtamahan, kelak ia akan terbiasa berpendirian “Sungguh Indah Dunia ini”.
  
Pada Kakawin Niti sastra VIII. 3 dinyatakan lima jasa orang tua (Panca Wida ) yaitu :   
1.      Matulung urip rikaling baya; menolong tat kala menghadapi bahaya,
2.      Sang maweh binojana; memberikan kita makan.
3.      Sang mengupadyaya; yang memberikan kita pendidikan dan Ilmu Pengetahuan agar anak menjadi seoarng sadhu gunawan yang cerdas atau mampu berpikir kritis.
Dalam kitab Nitisastra dijelaskan bahwa seorang yang tergolong sadhu bhudi dapat terjerumus dalam neraka, akibat salah pilih karena tidak berpikir kritis.  
Kitab Niti sastra disebutkan sebagai berikut :
Ada orang kaya naamun apa yang dimakan dan dipakainya serta kurang .Ada orang bertingkah laku bagus namun kurang akal ( kurang berfikir kritis akan ikut orang jahat ).Ada orang berumur panjang, namun rendah budinya dan tidak mengamalkan ajaran suci. Itulah orang miskin tiga macam hidupnya tidak berharga.

Dalam kitab Tantri Kamandaka banyak diuraikan mengenai contoh yang kurang berfikir kritis. Berikut ini dikutip terjemahan dua buah cerita.
“Ada seorang Brahmana, tamat belajar Weda pada Bhagawan Wrhaspati. Sudah sempurna ilmunya, hendak pulang kedaerahnya sendiri melalui gunung dan hutan, ditemukannya bangkai seekor harimau karena digigit ular berbisa. Terharunya Brahmana melihat harimau itu, besarlah rasa belas kasihannya.
Karena ingin mencoba ilmunya maka bangkai harimau itu dimantrai dan dengan sekejap harimau itu hidup kembali. Ketika melihat sang pendeta oleh harimau itu, maka kata harimau “Inilah harus kumakan engkau Sang Brahmana, pemberian Dewa Rudra yang benar – benar memuaskan diriku.Demikian kata harimau, maka diterkamlah Brahmana itu oleh harimau. Matilah brahmana itu. Itulah tindakan yang tidak menggunakan daya pikir kritis, sebelum membuat suatu tindakan yang penting.
Lain lagi ceritranya, ada seorang raja putra bercengkrama, bermain – main ditaman Shidapati. Ada padanya seekor Kera jantan yang dipeliharanya, sangat cerdas, tingkahnya seakan – akan menyerupai  perbuatan orang, dan selalu kera itu mengikuti kemana saja raja putra itu pergi, tiada pengikut lain untuk menjaga keselamatannya. Raja Putra bersenang hati melihat kehindahan taman itu, rindang karena bunga – bunga berbau harum. Tak tahulah ia bahwa ajalnya tiba, masih asyik saja menikmati keindahan taman, sambil memejamkan mata hendak tidur, berdampingan dengan istrinya. Kera yang dipelihara itu Si Grubuh namanya. Ia diberi pisang supaya ia menjaga. Kata Putra Raja “ Hai kau kera, jagalah keselamatanku selama aku tidur. Barangkali ada yang mengganggu tidurku, apalagi kalau penjahat yang merusak. Hendaklah Engkau lenyapkan apa saja yang mengganggu tidurku. Jangan engkau undur ketebing. Inilah pedang bagi temanmu” Demikianlah sabda putra raja, senang – senang mereka tidur. Tak lama ada seekor lalat hijau hinggap dileher sang Putra raja. Hal itu dilihat oleh si Kera, dan ingat akan pesan sang raja. Ditepuknya kuat – kuat lalat itu dengan pedang dan tepat pada leher sang raja putra, maka putuslah leher sang raja dan permaisurinya, matilah mereka karena pesannya sendiri. Itulah contoh akibat karena tidak menggunakan daya fakir kritis.
Kedua cerita diatas menunjukan pentingnya kita menggunakan daya pikir kritis sebelum melakukan tindakan penting, karena hal ini selalu diingatkan oleh ajaran Tri Kaya Parisudha; sebelum berbuat dan berpikir, semestinya diawali dengan berpikir kritis dan suci.
4.     4.  Sang menyangaskara; yang menyucikan diri kita dengan upacara keagamaan dan
5.      5. Sang ametuwaken; orang yang menyebabkan kita lahir.   

Melihat begitu mulia dan besarnya jasa orang tua, yang memiliki sifat – sifat kedewataan sehingga orang tua kita disebut Dewa nyata didunia. Dalam Taittiriya Upanisad I.11 desebutkan ada 4 (empat) yang disebut Dewa yaitu Ibu, Ayah pandita dan Tamu( Matri deva bhava, pitri deva bhava, Acaryo deva bhava, atithi deva bhava artinya Ibu, Ayah, Pandita dan tamu upacara adalah Dewa). Dewa artinya sinar suci Tuhan. Ibu dan Ayah sebagai leluhur adalah sinar suci dalam keluarga.



Phahala Berbhakti pada Orang Tua

Phahala berbhakti pada orang tua dijelaskan dalam kitab Sarasamuccaya 250 memberikan jaminan bagi anak yang berbhakti pada leluhur atau orang tua.Phahala mulia yang diperoleh bagi orang yang berbakti pada leluhur yaitu :
1.      Kirti ngarania paleman ring ayu artinya selalu dipuji dan dido’akan untuk mendapatkan kerahayuan. Doa memberikan dorongan jiwa dan membesarkan semangat hidup. Doa orang tua sangat mengandung nilai spiritual karena sarat akan keberhasilan dan orang tua tidak akan pernah membenci anaknya. Makanya jika ada orang tua memarahi anaknya dan dinilai oleh anaknya bahwa orang tua itu benci, itu adalah salah besar. Kemarahan orang tua, karena kecintaan pada anaknya agar ia tidak terjerumus ke hal – hal negative. Doa dapat menjaga dan melindungi kita dari mara bahaya yang negative. Dengan sering berdoa hati akan menjadi tenang, hadirnya sifat kasih saying, hilangnya perasaan ego. Doa yang sungguh – sungguh dan dipercayai akan mendatangkan dua dimensi yaitu dimensi Psycologis dan dimensi magis religious (Wiana, 2001; 11). Dimensi psycologis dapat secara langsung memberikan dorongan moral pada yang didoakan sedangkan dimensi magis relegius dapat menggerakan kesucian atman untuk lebih mampu mengusai Bhudi, Manah, Ahamkara. Orang akan hidupnya baik jika ia mampu mengusai indria dan pikirannya. Dalam berdoa dapat dilakukan secara individu atau diri sendiri untuk kepentingan diri sendiri dan dapat juga ditujukan pada orang lain untuk kebajikan. Atau orang lain yang medoakan kita, seperti orang tua mendoakan anaknya atau sebaliknya. Sudah tentu anak yang baik atau suputra. Jadi ada imbalan timbal balik antara bhakti dan waranugraha. Anak berbhakti dan orang tua memberikan pahala atau Imbalan/balasan.

Agar doa dapat membawa manfaat bagi kehidupan kita maka tata cara berdoa haruslah diperhatikan seperti mengucapkannya dengan hati yang penuh keyakinan. Karena doa adalah unsur sraddha yang mempunyai kegunaan sangat penting dan bermanfaat kehidupan kita terutama dalam pembinaan moral dan mental spiritual. Untuk itu wajib hukumnya untuk berdoa. Dalam Manawa Dharmasastra II.101 :
Purvam samdhyam japam, stisthet savtrim arka darsanat,
 pascimam tu samasinah, samyag rksa vibhavanat
Terjemahannya :
Hendaknya ia berdiri diwaktu pagi, mengucapkan mantra sampai matahari terbit, tetapi diwaktu sore boleh dengan cara duduk sampai cakrawala tampak denga jelas.
Selanjutnya disebutkan pula dalam kitab Atharva Veda XII.11, bahwa doa yang disebut dengan istilah Brahma merupakan penyangga dunia (prtivim dharayanti). Dengan dasar ini maka umat beragama diwajibkan untuk tidak meninggalkan atau untuk lupa berdoa. Wujud bhakti melalui doa ini cara yang paling mudah untuk dilakukan asalkan dengan niat yang suci dan penuh keyakinan. Doa orang tua pada anaknya adalah telah melekat pada anaknya yaitu melalui upacara Niskramana Samkara atau upacara Nyambutin. Dalam upacara ini dilakukan pemberian nama pada anak melaui proses yang sacral, dengan upacara bebantenan yang dilakukan dengan ucapan mantra – mantra suci veda yang dipimpin oleh seorang Pinandita atau oleh seorang Pandita/ Sulinggih. Dengan adanya upacara ini maka telah melekat doa seorang ayah/ibu pada anaknya. Nama setiap anak memiliki makna yang begitu luhur. Harafannya adalah agar sianak menjadi baik dalam berperilaku dan dikasihi oleh sesame dan Ida Sanghyang Widhi Wasa.

2.      Ayusa ngaraning urip artinya namanya berumur panjang. Yang berumur panjang bukan berarti orang mati sampai lanjut usia. Meskipun hidup berlama – lama didunia ini jika tidak berbuat kebajikan, maka sama halnya orang miskin. Dalam canakya Niti sastra disebutkan tiga orang miskin yaitu orang kaya tapi selalu merasa kurang, orang pintar namun kurang akal dan orang hidup umurnya panjang namun tidak berbuat kebajikan. Demikian dijelaskan dalam Sarasamuccaya 179; Ayusa itu artinya dalam umur kita berjalan, tidak banyak mendapat halangan dalam hidup. Sarasamuccaya 367 disebutkan pula umur kita hidup didunia ini sangat pendek. Hidup pendek ini sebagian diambil oleh waktu malam, waktu tidur, waktu sakit, bersedih, keadaan tua renta dan gangguan lainya. Jadi Ayusa adalah penggunaan waktu pada masa hidup secara efektif untuk berbuat baik didunia.

3.      Bala ngarania kesaktian. Bala artinya kesaktian. Dalam bahasa sanskerta “Sakti” berarti kekuatan, kemampuan yang positif. Karena itu Prakerti dan Pradana dari Tuhan disebut Sakti yang dilambangkan dengan Dewi. Mereka yang sungguh bhakti pada leluhurnya dijanjikan mendapat phahala Bala sebagai kekuatan untuk melaksanakan gagasan – gagasan yang baik dan benar, sehingga dapat berguna baik untuk dirinya sendiri mapun pada masyarakat.

4.      Yasa ngaraning patitinggal rahayu artinya yasa meninggalkan kerahayuan. Didunia ini dalam berbuat jasa kepada orang tua, bangsa dan Negara sangat didambakan oleh setiap orang. Karenanya perbuatan baik dapat menebus dosa leluhur dan keturunannya.

Selanjutnya Manawa Dharma Sastra III.275 dinyatakan apapun yang dikerjakan oleh seseorang dengan penuh keyakinan hendaknya terlebih dahulu ia berbhakti pada leluhurnya. Jika hal ini dapat dilakukan ia akan memperoleh kepuasan dan kebahagiaan. Oleh karena itu disamping yang telah diuraikan dalam kitab Sarasamuccaya, Manawa Dharma Sastra juga menjamin kebahagiaan bagi mereka yang berbhakti pada leluhurnya.

Memuja leluhur ada dua tahap yang banyak dijelaskan dalam Manawa Dharma Sastra, yaitu Semasa Hidup dan setelah beilau meninggal. Keduanya sama penting. Hal ini perlu dipahami karena masih ada anak yang baru bertanggung jawab pada leluhurnya ketika ia telah meninggal, dan semasa hidup orang tuanya, ia tidak peduli sehingga orang tuanya yang telah tua renta tanpa ada bhakti dari anaknya. Anak yang demikian adalah anak yang alpaca guru. Untuk itu Semasa orang tua masih hidup, maka anak dan cucunya wajib menaruh hormat, menjaganya dan bhakti dengan tulus iklas. Manawa Dharma Sastra II. 233 disebutkan dengan berbhakti pada Ibunya (Matrbhaktya) maka ia mencapai kebahagiaan di bumi ini. Dengan berbhakti pada Ayahnya (Pitrbhktya) ia akan mencapai kebahagiaan di alam madya. Dan berbhakti pada guru ia mencapai Brahma loka. Maka pada dasarnya phahala yang diperoleh berbhakti pada Ayah, Ibu dan guru adalah pekerjaannya menjadi teratur dan sukses, tapa bratanya berhasil, dapat mengurangi dosa - dosa dan keturunannya nanti menjadi baik.

Dari semua uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa terjadi hubungan timbal balik, anak berbhakti pada leluhurnya akan memperoleh kebahagiaan dan leluhurnya akan memberikan kasih sayang pada keturunannya. Jika hubungan anak dengan lelehurnya baik, maka kedamaian, keharmonisan dan kebahagian akan hadir ditengah – tengah kita didunia yang kita cintai.






































MENGENAL SEJARAH BERDIRINYA PURA LUHUR PATILA Asal Usul Pura Luhur Patila yang berada di Desa Patila, Kec. Bone – Bone, Kab. Luwu Uta...